Sabtu, 27 Agustus 2011

Beragam pelajaran hidup dari relawan (part I)

Sekolah Hidup di Lereng Merapi oleh Harum Sekartaji


kelas bersyukur

“penak kok mbak ning kene. nek mbengi yo anget. ora popo…sing penting sehat, donga dinonga nggih.” sebait ucapan simbah itu kira-kira mengalir demikian, sambil merangkul bahu saya dengan erat. keikhlasan dan kesederhaan. hanya itu yang terlintas ketika mendengar tuturnya. bagaimana tidak? ruang kelas di lereng dingin merapi yang disulap menjadi kamar tidur bersama itu hanya beralas tikar. tetap, beliau mensyukurinya dengan mengatakan sebagai ‘tempat yang enak dan hangat’.

muntilan, sept 2009


kelas kerendahan hati

“kulo mboten gadhah arto mbak”, kata seorang ibu yang sedang menggendong anaknya ketika teman saya berbagi sebungkus biskuit. sang teman bingung. tapi tiba-tiba tersadar dan menjawab “ini untuk si adik bu, saya gak jual kok”. yup, dalam kondisi cukup kekurangan di pengungsian, hidup berdesakan di gedung sekolah, ibu itu tetaplah seorang warga lereng merapi yang rendah hati dan tahu diri bahwa ia harus berusaha sebelum mendapatkan sesuatu, bukan sekadar menerima pemberian orang.

selo, sept 2009


kelas kesopanan

seorang anak lelaki dengan asiknya menyusun kepingan-kepingan lego yang saya bagikan menjadi sebuah mobil mungil. dengan wajah berbinar si anak memainkan mobil buatannya seakan lantai dingin balai desa itu adalah jalan raya yang mulus. “breemmm bremmm ciiiit”, kata-kata ajaib keluar dari mulutnya. puas bermain, dia melepas mobil dan hasil karya lain menjadi kepingan lego kembali. memasukkannya ke dalam plastik, dan berlari ke arah saya: “mbak niki mbak…mpun rampung dolanan.” anak sekecil itu, tahu bahwa apa yang bukan miliknya harus dikembalikan. wajahnya kembali bersinar ketika saya katakan bahwa semua mainan yang kami bawa itu tidak akan kami bawa kembali pulang.



kelas kejujuran

“oke…ketua kelompok tolong membagi bukunya dengan adil ya. satu orang dapat dua,” kata teman saya kepada anak-anak dalam sebuah acara bermain bersama di sebuah posko di muntilan. tak lama anak perempuan itu maju membawa satu buku dan menyerahkannya. “lho ini kenapa dik?”, tanya teman saya. “sisa satu mbak, saya kembalikan.” yup, sisa satu buku itu bisa saja dia simpan sendiri. tapi tidak, dia tahu bahwa kejujuran lebih penting.

selo, sept 2009



kelas ‘njawani’

“yo nek wong sing ora paham kearifan lokal ning kene ki pancen rodo angel nrimo artine loyalitas lan spiritualitas versi jowo. ora ono hubungane ro mistik2an, ning iki masalah prinsip. makane ha mbok awakmu kerjo karo londo2 kae yo ojo nganti lali tetep kudu njawani.” yang terakhir ini adalah ucapan ibu saya. selalu mengingatkan untuk tidak lupa ‘kembali’ menginjak tanah di mana saya dilahirkan, walaupun kaki sudah melangkah ke seribu tanah lainnya

tepat sebulan sudah. semoga jogja tetap berhati nyaman.

semoga merapi tetap hidup di hati kita – terutama bagi ‘anak-anak kampung ‘ seperti saya yang tumbuh bersamanya.

jakarta, 27 november 2010




Sumber: Harum Sekartaji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar