sembari kami meminta tolong dalam pembuatan surat, secara seenaknya saya dan ardha menguasai pos satpam Kesbangpol Jatim. Dengan dalih meminta pertolongan dan nunut ngeyup, fasilitas pos tersebut yang berupa stop kontak, kursi, dan koran secara paksa kami kuasai. Bapak satpamnya terus masuk ke dalam ruangan. *entah gimana perasaannya, hihihi
1 hal lain yang menjadi kendala adalah bagaimana cara mengeprint proposal yang menjadi salah satu syarat dalam perizinan. Ardha pun angkat bicara, “gimana kalau saya meminta bantuan teman saya yang ada di Surabaya ?”, saya pun tersenyum lebar, “Ide bagus ! Ayooo”
setelah satu persatu masalah mulai menunjukkan titik terang, tibalah saat dimana kami mengalami fase yang disebut PENANTIAN. Sembari menunggu fax dari Jogja, kami pun bertanya kepada Bendot aka Andi dan Jojon aka Dian F, dan ternyata oh ternyata jreng jreng jreng, Jateng pun juga mengalami hal yang sama, kami pun tertawa terbahak-bahak, karena kemeranaan kami pun ternyata tidak sendiri, ada temannya... wkwkwk
satu sms masuk, dibuka, dan ternyata adalah Geo Eko, yang tak lain adalah saudara kita yang paling menyenangkan, yaitu Eko Prastiyanto, dengan senyum yang mengembang *ngarang, dia melaporkan bahwa perizinan untuk Kehutanan Jatim sudah beres, saya pun berucap selamat dan memperkirakan apa yang akan ditanyakan Eko,
yakni “What shoul I do now, Do ?”, dan Eko pun bertanya seperti demikian,
saya bingung dan menjawab sekenanya, “ya udah kamu makan-makan atau jalan-jalan dulu Ko, saya bingung mau jawab apa”,
di luar dugaan, Eko menjawab, “Wah, kalau ga bareng-bareng ga enak Do”,
saya antusias, “waw, ya mau gimana lagi Ko, ga ada akses Bro, kalaupun kamu nyusul ke tempat kami, itu juga jauh”.
-Tak ada jawaban lagi, mungkin dia sekarang sudah terlelap tidur. Wkwkwk-
perut melilit dan meronta, kepala mulai bergetar. Itulah yang dirasakan Ardha, dan mungkin juga saya *tapi enggak terasa e, soalnya udah makan roti tadi (eh, tapi ardha juga kok, - -a). Sembari menanti, Ardha usul bagaimana kalau kami mencari makan terlebih dahulu, saya pun mengiyakan, dan izinlah kami dari Bapak Satpam yang sudah saya usir secara halus dari kandangnya, kami pun bergegas berjalan menyelusuri jalan ketika awal keberangkatan. 10 menit berjalan, kebingungan melanda, TAK ADA WARUNG MAKAN, yang ada hanyalah Jalan tol dan merk junkfood yang terkenal itu. Ya, kami merasa gengsi untuk makan “makanan sampah” *padahal sayang uang dan itu sama sekali tidak mengenyangkan. Kami pun putar balik dan menuju kantor Kesbangpol lagi, rasa gengsi kembali ke pos satpam pun kembali datang, wkwkwk kami pun bertanya ke orang lain, dan akhirnya setelah berjalan hampir 800 m, kami menemukan sebuah warung sederhana dengan menu yang menggoda. Di sanalah kami memuaskan perut kami.
di tempat makan, kami mulai kembali menyusun strategi dan melakukan estimasi, apabila izin ini dapat selesai hari ini, kami akan sekalian menyelesaikan izin Kabupaten, tetapi kalau tidak itu tergantung kondisi nanti. Penantian dilanjutkan dengan ngobrol dengan ibu penjual makannya dan beberapa orang yang ada di situ. 10, 20, 30 menit, fax tak kunjung datang dari Jogja. Saya pun mulai bertanya ngelantur untuk mengisi kekosongan topik pembicaraan. Saya bertanya, “Bu, Suramadu jauh ga? Berapa km dari sini?”. Wkkwwk ibunya ketawa, “wah jauh banget Mas dari sini, masnya harus ke terminal Joyoboyo dulu baru ke Perak, yah kira-kira 30 km dari sini”. Glek ! Jauhnyaaa... pertanyaan tidak saya lanjutkan, dengan basa basi mencoba mendengarkan ibunya yang serius menjelaskan proses menuju ke sana. Karena apa, yang jelas saya tidak tertarik menuju Suramadu kalau begini aksesnya. Hihihi.
makan selesai. Belum solat. Tujuan kami sebenarnya adalah masjid yang ada di sekitar daerah ini, namun setelah mendengarkan keterangan ibunya kalau masjid ada di seberang jalan tol, kami pun mengurungkan niat untuk mencari masjid. Serem e kalau harus melintasi jalan tol, Ardha pun angkat bicara, ke musola Kesbangpol saja Fred, Woke bro kita ke sana. Kembali menyapa Bapak satpamnya yang sepertinya mulai curiga kepada kami kalau adalah seorang teroris. Dalam hati saya bilang, “Santai pak, saya sudah potong rambut. Jadi ga ada yang saya sembunyikan” *Hah?
segar ! itu adalah kata yang saya ucapkan ketika membasuh muka dengan air keran yang mengalir deras. Ternyata Surabaya memang kota yang sangat panas, lebih dari Jogja malah, padahal akhir-akhir ini Jogja panas. Kalo orang sini bilang, “Teng mriki cen puuuuuaaaaaaanaaaaasssse puol rek”. Wkwkwk *ada sisipan huruf vokal untuk menggambarkan keadaaan “sangat”. Hihihi
masuk ke musola, waw adeeeemmmmm. What? Musolanya ada AC-nya coba, mantapnya ! kami pun solat dengan khusyuk *padahal ga ada hubungannya
selesai solat, kami kembali merasakan kebingungan, muncul pertanyaan “What are we going to do ?” kami pun menuju lobi ditemani sofa empuk dengan belaian angin yang semilir. Tak sampai 10 menit, ardha pun sudah tertidur, namun tak lama kemudian dia terbangun, karena datang sms dari temannya yang mengabarkan bahwa proposalnya sudah siap diambil. Dia pun bangkit dan menjemput temannya, karena tak mau merepotkan temannya, temannya disuruh menunggu di depan tempat junkfood yang berjarak 500 meter dari tempat kami sekarang. Dia pun bersemangat... :p
jarum jam mulai menunjukkan pukul 14.30, kepastian fax dari Jogja pun datang, Dito mengatakan bahwa surat baru bisa jadi pukul 15.30 *itupun kalau petingginya mau tanda tangan hari ini juga. ah sial, kantor ini kan bukanya Cuma sampai jam 15.00. saya dan ardha kembali berestimasi mengenai rencana seandainya hari ini suratnya tidak jadi. Muncul ide membagi 2 kelompok lagi, setelah di awal, kami 4 orang membelah diri untuk mengurus Perhutani dan Kesbangpol. Ide yang terbaru yaitu membagi 2 tim untuk stay mengurus izin Surabaya ini dan kelompok satunya mengurus izin Kabupaten. Ide pun ditampung, dan siap didiskusikan dengan Eko dan Ansori. Kami pun bergegas keluar dari kantor ini dan mencoba menghibur diri dengan tertawa... ha ha ha –a
tempat menginap. Untung tadi sempat terpikirkan oleh kami, karena dari kami ga ada satupun yang berasal dari Surabaya. Dan teman-teman kami yang sedang di Surabaya juga sedang tidak di Surabaya, Unair dan Itats juga sedang ujian, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di rumah Eko yang terletak di Gresik. Berjarak sekitar 30an km dan lama perjalanan 1 jam *karena kami memakai kendaraan umum dan otomatis jalannya memutar.
saya dan Ardha segera bergerak menuju jalan raya. Tujuan kami jelas yaitu terminal Wilangun, sesuai dengan kesepakatan dengan Eko dan Ansori. Dan untuk menuju ke sana, kami musti menuju terminal Joyoboyo terlebih dahulu baru bisa menuju terminal Wilangun. Menaiki “Lyn warna coklat” *kali ini Lyn nya ga punya nomor punggung. Kami pun menghembus napas tanda kami mulai kelelahan. Di dalam angkutan yang mirip kobutri berwarna kuning kalau di Jogja, ada beberapa anak SMP yang baru pulang sekolah. Mereka terlibat pembicaraan yang menarik sepertinya , 4 anak baru gede ini semuanya adalah cewek, wajah-wajah mereka biasa saja, memiliki garis tegas di wajah dan sesekali menghiasinya dengan senyuman khas Jawa Timur, dengan gaya bicara Jawa Timuran yang menggelitik (*penekanan Iya Ta ? ayo Rek, dan la po ?) adalah kata-kata unik yang terekam dari kota Surabaya ini...hihihi
sesampainya di terminal Joyoboyo, kami pun segera mencari tahu bagaimana cara mencapai terminal Wilangun. Dan kami bertemu dengan orang yang memiliki tujuan yang sama, tetapi masnya mau ke Lamongan. Nah, jadilah kami berbarengan...
di dalam lyn P6 ini, saya , melihat cuplikan lain dari keluarga Indonesia. Ada sebuah keluarga yang masuk ke dalam lyn, di saat kenek meminta pembayaran kepada penumpang, sang Bapak yang duduk di depan menyuruh si isteri untuk membayar ongkosnya. Namun, mungkin karena persediaan duit yang sudah habis, ibunya protes kepada bapaknya sambil melotot, “Bapak bae lah le mbayar”. Seketika bapaknya langsung membayar ongkos tersebut, padahal awalnya dia bilang kalau sudah tak punya duit. Wkwkkw saya ketawa :p
sepanjang perjalanan Surabaya-Gresik, banyak ditemui tambak garam yang berada di pinggir jalan. Saya takjub karena sebelumnya tak pernah melihat tambak garam yang seluas ini. How amazing !
sesampainya di terminal Wilangun, kami sudah disambut sang tuan rumah, yang tak lain adalah Eko. Kami pun lanjut ke lyn hijau kecil yang siap memboyong kami ke rumah Eko. Beberapa saat setelah naik Lyn, datang seorang ibu-ibu dan 2 anaknya yang saya perkirakan sekitar SMA. 2 anak ini semuanya berjilbab, sempat kami terkesima karena melihat 2 anak ini, namun, setelah dilihat dengan seksama, anak perempuan memakai bedak yang suuuueepeer duper tebal yang tentunya malah membuat wajahnya menjadi mirip sebuah topeng yang menarik. Hihihi
sebenarnya harus 2x naik lyn agar bisa sampai ke rumah Eko, namun karena memang sudah dekat dan bosan duduk, kami hanya 1x naik lyn dan berjalan bersama menuju rumah Eko sembari mengamati kota kecil yang bernama Gresik ini. Kotanya cukup ramah, pernah mengantongi gelar Adipura juga, dan tentu berdirinya pabrik semen terbesar di Indonesia adalah di kota ini, yang sangat terkenal dengan brand khasnya “Semen Gresik”
sesampainya di rumah Eko, kami langsung disuguh dengan teh panas buatan Master Eko, rasanya nikmat sekali setelah kami berlelah ria dari Jogja kemudian berpindah-pindah dengan berjalan dan berangkot. Sebuah pengalaman baru dalam dunia perizinan yang tak mudah untuk dilupakan *haiiisshh
MAKAN MALAM ! kebetulan Bapak dan Ibu Eko baru pulang setelah maghrib, sehingga kami pun dipaksa (*padahal seneng), untuk makan. Dengan lauk nasi padang dan nasi yang pas buat kami, kami pun dengan lahap menghajar makanan tersebut. Huhuhu nikmatnya...
bapak ibu eko datang... nah, dengan memasang senyum yang selebar-lebarnya kami mencoba untuk menegur bapak ibunya Eko. Waw, beliau berdua ramah sekali, sehingga kami pun merasa nyaman untuk berada di rumah ini selama beberapa jam ke depan. Hehe
ide baru kembali muncul ! Ardha berinisiatif untuk pulang ke Bojonegoro malam ini, kemudian surat dari provinsi dikirimkan melalui fax langsung ke kantor Bojonegoro dan Tuban. Saya langsung mengiyakan, IDE CEMERLANG ! dan akhirnya kami segera menyusun strategi apa yang bakal kami lakukan besok di Bojonegoro dan Surabaya. Dan akhirnya kembali lagi dibagi menjadi 2 tim yaitu Ardha-Ansori ke Bojonegoro dan Fredo-Eko ke Surabaya. Hal tersebut dibagi berdasarkan kemampuan masing-masing diantara kami yang sudah mengetahui medan... cikicui
tanpa membuang waktu, ardha-ansori pun langsung bergegas, namun sebelum pulang, mereka dicegah oleh Bapaknya Eko. Kata beliau masih ada nasi goreng yang siap disantap. Weh ? Waw adalah kata pertama yang kami ucapkan. Yasudahlah, namanya juga rejeki kami pun langsung menyikat habis makan malam kloter ke-2 ini, tanpa sisa, hanya kertas minyaknya saja
diantar bapaknya Eko ke terminal, ardha-ansori pun sudah sampai di Terminal Bunder Gresik, kami pun mengantar kepergian mereka. Kali ini mereka tak menggunakan bus-bus jawara rute pantura seperti Sumber K*encono dan M*ira, wkwkwk
setelah pulang, tinggalah saya sendiri yang nunut menginap di rumah Eko. Sebelum pulang ke rumah, saya sempat diajak muter-muter kompleks perumahan yang sudah dibilang cukup maju di kawasan Gresik. Melewati Masjid Agung Gresik yang masih baru dan sangat megah, saya pun cukup terhibur melihat kerlipan lampu-lampu jalanan. Hihihi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar